skip to main | skip to sidebar

9/18/2010

Derita Anak Nelayan

Memakan tanah, protolan tembok, kayu atau pecahan genting merupakan kebiasaan Bastiawan, seorang bocah kecil berusia 13 tahun tinggal di Dusun Randu Geneng, Desa Cempoko Rejo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Tidak usah dibayangkan bagaimana rasanya, cukup kita bertanya dalam hati, kenapa anak kedua dari pasangan Edy Priyanto, 43, dan Riniyatin, 37, sampai melakukan hal itu selama 5 tahun terahir.

Beberapa waktu lalu, saya sempat berkunjung ke rumah sederhana dari kayu tempat tinggal keluarga Edy Priyanto. Di kampung nelayan pesisir Palang tersebut saya ditemui oleh Edy dan ibu mertuanya, Mining, berusia sekitar 60 tahun. “Monggo pinarak, wonten perlu nopo,” ujar Mining mengawali pembicaraanya, mempersilahkan saya duduk di sebuah dipan dari bambu di teras rumah berualas tanah itu.

Bersama semilir angin laut, percakapan kami mengalir bergitu saja setelah saya memperkenalkan diri. Beberapa menit kemudian, bocah dekil tanpa baju dengan kulit hitam kekuningan seperti seorang penderita penyakit liver menghampiri Mining kemudian duduk di pangkuanya. Celana pendeknya kumal, dan perut buncit itu sama sekali tidak seimbang dengan tubuhnya yang kerempeng. Ya, dialah Bastiawan, bocah kelas 5 SD yang doyan makan tanah, pecahan genting maupun rontokan tembok.

“Kebetulan, dia datang. Jadi lebih mudah untuk memulai pembicaraan,” kataku dalam hati sebelum memulai wawancara terkait kebiasaan aneh Bastiawan. Gayungpun bersambut, satu kata saja pertanyaan tentang Bastiawan, wanita berkebaya itu langsung mengalirkan semua cerita mengenai cucunya.

Bastiawan memiliki kakak perempuan bernama Imro’ yang sekarang tinggal bersama suaminya di Desa lain, dan memiliki seorang adik bernama Latifatul Rustiana, berusia 10 tahun. Kedua saudaranya itu normal seperti warga lainya. Hanya Bastiawan yang bernasip malang dengan sejumlah kelainannya.

Penyakit aneh dideritanya sejak berusia 7 bulan. Kala itu, terdapat benjolan sebesar ibu jari orang dewasa di bagian kiri perutnya. “Semakin hari, benjolan terus membesar hingga merata di seluruh bagian perut,” kisah Mining sambil sesekali mengusap peluh yang membasahi wajahnya.

Di usia satu tahun, kebiasaan aneh Bastiawan mulai muncul. Ketika bermain di depan rumah bersama teman-teman sebayanya, ia kerap mengambil tanah kemudian dimakannya begitu saja. Tak hanya itu, saat berada di sungai juga dengan enaknya dia mengambil tanah liat untuk dimakan. Ketika rumah dalam keadaan sepi, Bastiawanpun kerap mempreteli gedek -dinding dari bambu- rumahnya kemudian dimasukkan ke mulut untuk dilahap.

Ternyata, kebiasaan memakan sesuatu yang tidak selayaknya ini dilakukan Bastiawan setiap ia merasakan sakit di dalam perutnya. Semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena malu dikatain teman serta takut dimarahin orangtua. Ya, bocah kecil ini melakukannya untuk mengalihkan rasa sakit yang ia derita. Nasi atau lauk pauk yang disediakan di ruang makan tak ada satupun yang menarik minat sang bocah.

“Kalau pas penyakitnya kambuh, dia ini tidak mau makan apa-apa. Tubuhnya panas sekali hingga membuat dia terus menangis. Hal itu sering sekali terjadi selama bertahun-tahun,” tukas Mining sembari menyabarkan cucunya yang langsung meneterkan air mata setiap kali kelemahanya diceritakan oleh siapapun.

Bastiawan juga bersekolah di SD di desanya. Ia sekarang duduk di bangku kelas 5. Namun kerap bolos atau pulang mendadak dari sekolahan setiap kali penyakitnya kambuh. Saking seringnya, para guru maupaun pihak sekolah memaklumi murid satu ini.

Dalam kondisi ini, bukan berarti keluarga tinggal diam menerima semua. Meski hanya seorang nelayan, Edy sudah beberapa kali berupaya mengobatkan anak lelakinya. Beberapa tahun lalu, dua kali Bastiawan dibawa ke RSUD dr Soetomo, Surabaya untuk menjalani pengobatan. Pertama menjalani rawat inap selama 15 hari dan yang kedua harus rawat inap 9 hari. Selain itu, tak terhitung berapa jumlahnya ia mendatangi dokter guna mencari kesembuhan sang anak. “Semua kami lakukan. Sampai ke paranormal dan pengobatan alternative juga kita tempuh,” kata Edy menimpali ibu mertuanya.

Tapi apa yang didapat, kondisi Bastiawan tetap sama. Semua usaha penyembuhan itu mendapat nilai nol besar. Padahal, untuk biaya pengobatan, keluarga harus hutang kesana kemari sampai menumpuk banyak sekali. “Tapi kami tidak akan menyerah. Semua upaya akan terus kami tempuh untuk kesembuhanya,” imbuh nelayan serabutan ini lirih.

Demi menyambung hidup dan meneruskan perjuangan untuk menyembuhkan sang anak, ibu Bastiawan berangkat lagi ke Malaysia. Maklum, Edy Priyanto dan Riniyatin memang pertama kali kenal di Malaysia saat keduanya sama-sama merantau ke negeri Jiran bebera tahun lalu. Setelah kembali ke Indonesia, mereka menikah dan tinggal bersama di rumah Riniyatin.

Di sana, Riniatin bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sedangkan Edy, bekerja sebagai nelayan serabutan yang kerap libur kerja karena tak tega meninggalkan Bastiawan sakit sendirian di rumah. “Ibunya setiap bulan kirim uang dari sana. Tapi, semuanya selalu habis untuk bayar hutang dan untuk biaya pengobatan,” ungkap Edy.

Setiap menelpon, pembicaraan mereka hanyalah seputar perkembangan penyakit Bastiawan. Dan hampir biasa dipastikan, melalui telpon seluler sederhana itu, selalu terdengar suara tangis Rini dari negeri seberang meratapi nasib anak lelakinya.

Kurang Perhatian

Sekitar satu jam disana, sayapun berpamitan karena harus balik ke Kota Tuban untuk melanjutkan hunting hari itu. Usai bersalaman dengan beberapa anggota keluarga dan mencoba sedikit memberi semangat kepada Bastiawan dan ayahnya, sayapun meninggalkan perkampungan padat penduduk di Timur Kota Tuban tersebut. Hingga keesokan harinya, saya diajak dokter Bambang Lukmatono untuk kembali ke sana setelah direktur rumah sakit Husada Indah ini membaca berita termuat di halaman pertama Koran harian tempat saya bekerja.

Kali ini, saya meluncur ke Palang menggunakan mobil Panther milik sang dokter. Perlengkapan medis telah tersiapkan di bangku tengah mobil berwarna biru yang biasa digunakan keliling dokter bertempat tinggal di sebelah timur alun-alun kota Tuban.

20 menit perjalanan, kamipun tiba di kampung nelayan itu. Karena jalan tanpa aspal menuju gang rumah Edy tak cukup dilalui mobil, kami memarkir kendaraan di halaman salah satu rumah penduduk. “Silahkan, diparkir sini saja,” ucap seorang wanita tua yang sehari sebelumnya telah bertemu dengan saya, mempersilahkan halaman rumahnya dipakai untuk parkir. “Sampean mau ke rumah Bastiawan lagi ya,” lanjutnya bertanya.

Beberapa saat ngobrol, kamipun berjalan bersama menuju rumah sederhana Edy. Disana, sejumlah keluarga dan para tetangga langsung berkumpul. Mungkin karena ingin tahu tentang maksud kedatangan dokter Bambang. “Monggo, silahkan masuk pak. Biar saya carikan Bastiawan dulu,” sambut Edy melihat kedatangan kami. Sepertinya dia sudah paham dengan apa maksud kami berkunjung ke rumahnya.

Sebagai tamu, kamipun terlebih dulu berbincang-bincang dengan keluarga sebelum melaksanakan apa maksud dan tujuan kami. Tak sampai lama, pihak keluarga mempersilahkan dokter Bambang memeriksa Bastiawan setelah mereka menceritakan sejak awal bagaimana kondisi penyakitnya. “Silahkan kalau mau diperiksa sekarang,” ujar Edy yang duduk bersama anak lelakinya di sebuah ranjang kayu ruang tamu rumahnya.

Bastiawan yang terlihat kikuk, bersedia merebahkan tubuhnya. Alat kedokteranpun keluar dari kotaknya untuk memeriksa sang bocah. Tapi apa yang terjadi, baru beberapa menit dipegang dokter, Bastiawan menangis keras. Ia berontak. Menolak untuk disuntik. “Gak mau disuntiik…,” teriak Bastiawan keras sambil menangis dan berusaha melepas genggaman tangan ayahnya. Eh, tenyata bocah yang doyan makan tanah dan tembok itu takut jarum suntik. Padahal, dokter sama sekali belum mengeluarkan alat suntiknya.

Penolakan itu sukses, Bastiawan hanya diperiksa saja oleh dokter kemudian dipersilahkan untuk kembali bermain bersama puluhan temanya yang sejak awal ikut berkerumun di rumah menyaksikan apa yang sedang dilakukan dokter kepada dirinya.

Bagaimana hasil pemeriksaan?, dokter Bambang menjelaskan bahwa penyakit yang diderita oleh Bastiawan sama sekali tidak ada hubunganya dengan kebiasaan aneh memakan tembok atau genting. “Ini terjadi karena kurang perhatian orangtua saja. Sehingga sang anak memakan sesuatu yang bukan semestinya,” tegasnya.

Tentang perut Bastiawan terus membesar dan tubuhnya tak bisa berkembang itu, Bambang menyatakan bahwa terjadi Spleno Megali atau kelainan darah hingga mengakibatkan beberapa organ tubuhnya terganggu. Selain itu, dari tubuh korban juga nampak mengalami Anemia Grafis atau kekurangan sel darah merah yang terlalu lama. “Untuk itu, harus dilakukan penanganan lebih serius guna mengetahui penyebab pasti penyakitnya. Baru setelah itu dilakukan pengobatan. Tapi, melihat kondisinya saat ini, butuh waktu yang tidak singkat dalam pengobatanya,” jelas Bambang.

Kala itu, Bambang berharap, keluarga bersedia membawa Bastiawan rutin ke tempat praktiknya di kota Tuban. Ia berjanji tidak memungut biaya atas pengobatan ini karena dirinya memang tergerak untuk menolong Bastiawan setelah tahu apa yang dialami sang bocah. “Saya prihatin, kok sampai seperti ini pemerintah tidak tanggap. Padahal, puskesmas atau tempat kesehatan lainya tidak jauh dari rumahnya. Karena itu, saya sengaja datang langsung ke rumah Bastiawan,” ujar Bambang.

Usai mememeriksa Bastiawan dan berbincang banyak dengan keluarga, kamipun berpamitan. Bagaimana selanjutnya nasib bocah malang tersebut, saya sendiri hanya sempat memantau beberapa hari setelah hari itu. Mudah-mudahan, saat ini dia telah sembuh dan menjadi anak seperti pada umumnya sebagai generasi penerus bangsa.-emtovic-

0 komentar:

Posting Komentar