skip to main | skip to sidebar

9/09/2011

Kiai Mancung, Tradisi Sedekah Laut di Pesisir Tuban

Satu tradisi yang masih dilestarikan warga pesisir Kota Tuban hingga saat ini adalah ritual Kiai Mancung. Sebuah kegiatan sedekah laut dengan cara menancapkan kepala Kerbabau di atas cagak kayu di pinggir pantai tempat sejumlah perahu nelayan bersandar.

 Puluhan nelayan di Kelurahan Karangsari, Kecamatan Kota, Tuban berkumpul di pinggiran pantai yang terletak di utara pusat Kota Tuban. Mereka nampak serius mengamati tiga orang sesepuh nelayan sedang membersihkan kepala Sapi yang sudah terpotong dengan air yang dicampur kembang dan wewangian. Ternyata, kegiatan ini merupakan awal dilaksanakanya ritual Kiai Mancung, sebutan warga untuk acara sedekah laut yang dilaksanakan setiap tahun.               

Diakui sejumah warga, traidisi peninggalan leluhur yang diyakini untuk penolak balak dan kelanggengan sumber pencaharian nelayan ini sudah banyak mengalami pergeseran. “Kalau dulu, ritual ini dilaksanakan setiap hari Rabu Pon bulan Rojab setiap tahun. Dan yang dipancung adalah kepala Kerbau, bukan Sapi,” kata Sutaim, 60, sesepuh nelayan Karangsari.

Seperti tahun sebelumnya, pelaksanaan sedekah laut tahun ini para nelayan di sana baru bisa melaksanakanya pada bulan Syawal. Hal ini lantaran pendapatan nelayan sudah banyak berkurang sehingga mereka merasa kekurangan dana untuk urunan guna pelaksanaan sedekah laut. Bahkan, gara-gara minimnya dana yang ada, beberapa waktu lalu sempat diputuskan untuk tidak melaksanakan ritual ini.

Namun, acara ritual ini tetap dilaksanakan atas desakan sejumlah sesepuh kampung yang telah mengalami berbagai kejanggalan saat melaut. “Memang, awalnya sudah mau kita tiadakan, tapi para sesepuh melihat ada keanehan saat melaut. Seperti melihat pertanda bahwa ada permintaan makanan,” terang Abdul Muin, coordinator acara ini. “Karena itu, kita putuskan untuk segera melaksanakan acara ini meski dibilang terlambat,” sambungnya di sela acara.

Diceritakanya, acara Kiai Pancung ini berlangsung selama dua hari dengan diawali pemotongan kepala Kerbau, melekan sampai pagi dan acara larung sesaji pada keesokan harinya. Tapi dengan keterbatasan dana yang ada, pihak panitia memutuskan untuk mengganti kepala Kerbau dengan kepala Sapi. “Yang penting niatnya,” ujar Muin.

Usai dibersihkan dengan air yang dicampur kembang, kepala sapi tersebut diarak keliling kampong di sepanjang pesisir. Selanjutnya, dua orang sesepuh  nelayan membakar menyan, memasang kembang-kembangan dan minyak serimpi di pinggir laut kemudian dilanjutkan dengan penancapan kepala sapi menghadap ke laut di atas tiang yang sudah disediakan. Kepala sapi ini dibiarkan di tempat pemancungan sampai hancur dan hilang dengan sendirinya.

Setelah itu, malam hari tadi para nelayan berkkumpul di pinggir pantai untuk begadang bersama sampai pagi. Dan puncaknya, pada Rabu pagi ini semua nelayan libur melaut untuk melaksanakan ritual bersama. Yakni, melaksanakan larung sesaji yang terbuat dari sejumlah panganan, kembang-kembang dan sebagainya. “Semua ini kita yakini bisa menjadi tolak balak dan melancarkan kegiatan di laut yang merupakan mata pencaharian para nelayan,” sambungnya.emtovic

0 komentar:

Posting Komentar